Kota Berbisik, Kota Mengeluh: Mengurai Benang Kusut Pengurusan Kotor Perkotaan
Perkotaan, pusat aktivitas dan harapan, seringkali diiringi bisik-bisik rumor. Salah satu isu yang kerap menjadi sorotan adalah pengurusan kebersihan dan pengelolaan limbah yang ‘kotor’ atau tidak efektif. Rumor ini tidak muncul begitu saja; mereka seringkali tumbuh subur dari pengamatan langsung warga terhadap tumpukan sampah yang tak terangkut, saluran air yang tersumbat, atau fasilitas umum yang terbengkalai. Bisikan tentang dugaan penyalahgunaan anggaran, kurangnya pengawasan, hingga praktik nepotisme dalam kontrak kebersihan menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi ini.
Pengurusan yang ‘kotor’ bukan hanya tentang sampah fisik, melainkan cerminan dari sistem tata kelola yang tidak transparan, akuntabel, dan efisien. Ini mencakup perencanaan yang buruk, alokasi dana yang tidak tepat sasaran, kurangnya teknologi modern, serta minimnya partisipasi masyarakat. Dampaknya nyata: lingkungan kumuh, risiko kesehatan, citra kota yang tercoreng, dan yang paling krusial, terkikisnya kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Menghadapi isu ini memerlukan lebih dari sekadar bersih-bersih permukaan. Diperlukan komitmen kuat dari pemerintah daerah untuk meningkatkan transparansi, memperketat akuntabilitas, mengadopsi teknologi tepat guna, dan yang terpenting, melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan kebersihan kota. Hanya dengan mengatasi akar masalah dan bukan sekadar menepis rumor, kota-kota kita bisa benar-benar bersih, sehat, dan menjadi tempat tinggal yang layak bagi semua.