Fenomena Joki STNK dan Analisis Hukumnya

Joki STNK: Antara Efisiensi Semu dan Jerat Hukum yang Mengintai

Fenomena penggunaan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atas nama orang lain, atau yang populer disebut "joki STNK," telah menjadi praktik umum di Indonesia. Umumnya, praktik ini terjadi ketika seseorang membeli kendaraan bekas namun enggan melakukan balik nama kepemilikan. Motivasi di baliknya beragam, mulai dari menghindari biaya Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang cukup besar, menghindari pajak progresif, hingga berupaya mengelabui sistem tilang elektronik (ETLE) yang menargetkan pemilik kendaraan.

Mengapa Praktik Ini Subur?

Pajak progresif, yang memberlakukan tarif lebih tinggi untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya, menjadi pendorong utama. Dengan menggunakan STNK atas nama orang lain, pemilik asli kendaraan dapat "menyembunyikan" kepemilikan kendaraan kedua atau lebih, sehingga terhindar dari pajak progresif. Selain itu, dengan maraknya tilang ETLE, banyak yang memanfaatkan celah ini agar denda tilang tidak langsung tertuju pada identitas pengemudi sebenarnya, melainkan pada nama pemilik di STNK yang mungkin sudah tidak memiliki hubungan dengan kendaraan tersebut.

Analisis Hukum: Jerat yang Tersembunyi

Secara esensi, STNK adalah bukti kepemilikan dan legalitas kendaraan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), khususnya Pasal 74 ayat (2), mewajibkan setiap pemilik kendaraan bermotor untuk melaporkan perubahan kepemilikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal transaksi. Kewajiban ini bertujuan untuk menjaga validitas data registrasi kendaraan dan memudahkan penegakan hukum serta penarikan pajak.

Kemudian, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menjadi landasan pemberlakuan pajak progresif serta kewajiban pembayaran BBNKB dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

Apakah Mengemudikan Kendaraan dengan STNK Atas Nama Orang Lain Ilegal?

Secara langsung, mengemudikan kendaraan dengan STNK atas nama orang lain bukanlah pelanggaran pidana jika ada izin dari pemilik sah (misalnya, pinjam kendaraan keluarga atau perusahaan). Namun, permasalahan muncul ketika tindakan ini dilandasi oleh niat untuk menghindari kewajiban hukum atau keuangan, seperti yang kerap terjadi dalam praktik joki STNK.

Risiko dan Dampak Hukum:

  1. Bagi Pemilik Nama di STNK (Joki):

    • Tanggung Jawab Pajak: Tetap menanggung beban pajak progresif jika kendaraan tersebut dianggap sebagai kendaraan kedua atau seterusnya atas namanya.
    • Tanggung Jawab Tilang ETLE: Bertanggung jawab atas denda tilang ETLE yang terekam, meskipun bukan dia yang mengemudi.
    • Risiko Hukum Lebih Serius: Jika kendaraan terlibat tindak pidana (tabrak lari, perampokan, dll.), pemilik nama di STNK akan menjadi pihak pertama yang dicari dan dimintai keterangan oleh aparat hukum.
  2. Bagi Pengguna/Pembeli Kendaraan:

    • Kepemilikan Tidak Sah: Tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah, sehingga sulit menjual kembali atau mengurus administrasi kendaraan.
    • Ketergantungan pada Joki: Harus selalu bergantung pada pemilik nama di STNK untuk urusan perpanjangan pajak atau administrasi lainnya.
  3. Bagi Negara:

    • Kerugian Pendapatan: Hilangnya potensi penerimaan pajak dari BBNKB dan pajak progresif.
    • Data Tidak Valid: Data kepemilikan kendaraan menjadi tidak akurat, menyulitkan perencanaan kebijakan transportasi dan penegakan hukum.

Kesimpulan

Fenomena joki STNK adalah praktik yang merugikan semua pihak, baik individu maupun negara. Meskipun tampak efisien di awal, risiko hukum dan finansial yang mengintai jauh lebih besar. Kepatuhan terhadap aturan balik nama bukan hanya soal kewajiban, tetapi juga demi kepastian hukum dan keamanan bagi pemilik kendaraan itu sendiri. Aparat berwenang terus berupaya menertibkan praktik ini melalui berbagai cara, termasuk pemutakhiran data dan penegakan hukum yang lebih ketat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *