Memecah Hening atau Melukai Lagi: Dilema Media dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual
Media massa memiliki kekuatan luar biasa untuk membentuk opini publik, namun kekuatannya menjadi pedang bermata dua, terutama dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual. Isu sensitif ini menuntut kehati-hatian ekstra, karena dampak pemberitaan bisa sangat mendalam bagi korban, masyarakat, dan upaya penanganan kasus.
Di satu sisi, media dapat menjadi suara harapan. Dengan membongkar tabu, mendorong korban untuk bersuara, dan memicu diskusi publik yang krusial tentang persetujuan, pencegahan, serta hak-hak korban, media berperan vital dalam advokasi dan edukasi. Pemberitaan yang bertanggung jawab dapat meningkatkan kesadaran, menekan aparat penegak hukum untuk bertindak, dan menciptakan lingkungan yang lebih suportif bagi penyintas.
Namun, sisi gelapnya tak kalah nyata. Luka yang berulang bisa tercipta akibat pemberitaan yang sensasional, fokus berlebihan pada detail grafis, spekulasi yang tidak berdasar, atau bahkan nada yang secara implisit menyalahkan korban (victim blaming). Privasi korban sering terabaikan, dan narasi yang bias justru memperkuat stigma serta ketakutan, alih-alih memberdayakan. Viktimisasi sekunder melalui media bisa meretraumatisasi korban, membuat mereka enggan melapor, dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem.
Dampak media dalam kasus kekerasan seksual adalah cerminan dari etika dan profesionalisme jurnalisme. Diperlukan pendekatan yang sensitif, empatik, dan berpihak pada korban, menghindari sensasionalisme demi edukasi dan advokasi. Publik juga memiliki peran melalui literasi media, menuntut pemberitaan yang bertanggung jawab dan kritis terhadap narasi yang merugikan. Hanya dengan begitu, media bisa benar-benar menjadi suara harapan, bukan penyebab luka yang berulang.