Jerat Pidana Penipu Pinjol Fiktif: Mengurai Tanggung Jawab Hukum dalam Dunia Digital
Fenomena pinjaman online (pinjol) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap keuangan digital. Namun, di balik kemudahannya, tumbuh subur pula modus penipuan berkedok pinjol fiktif yang merugikan masyarakat. Artikel ini akan menganalisis dasar hukum yang dapat menjerat para pelaku kejahatan digital ini.
Modus Operandi & Unsur Kejahatan
Pelaku umumnya beroperasi dengan menawarkan pinjaman cepat dan mudah, seringkali tanpa verifikasi ketat, namun dengan syarat tersembunyi atau bahkan tidak pernah mencairkan dana. Modusnya meliputi pemalsuan identitas, penyalahgunaan data pribadi, hingga janji palsu yang mengarah pada penarikan sejumlah uang di muka atau pencurian data sensitif.
Unsur utama yang harus dibuktikan adalah adanya niat jahat (dolus), tipu muslihat, rangkaian kebohongan, serta kerugian finansial yang dialami korban.
Landasan Hukum untuk Menjerat Pelaku
-
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – Pasal 378 tentang Penipuan:
Secara tradisional, Pasal 378 KUHP menjadi landasan utama. Pelaku dapat diancam pidana penjara hingga empat tahun jika terbukti dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu atau membuat utang atau menghapus piutang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun dengan rangkaian kebohongan. -
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) – Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1):
UU ITE sangat relevan mengingat kejahatan ini terjadi di ranah digital. Pasal 28 ayat (1) dapat diterapkan bagi pelaku yang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Ancaman pidana penjara hingga enam tahun dan/atau denda hingga satu miliar rupiah menanti para pelanggar. -
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) – UU Nomor 27 Tahun 2022:
Jika penipuan modus pinjol fiktif melibatkan penyalahgunaan data pribadi korban, UU PDP dapat menjerat pelaku dengan sanksi pidana dan/atau denda yang signifikan. Pelaku yang mengumpulkan, menggunakan, atau mengungkapkan data pribadi secara tidak sah dapat dikenai pidana penjara hingga lima tahun dan/atau denda hingga lima miliar rupiah.
Tantangan Pembuktian
Meskipun dasar hukum tersedia, pembuktian kasus penipuan pinjol fiktif seringkali kompleks. Sifat transaksional digital, anonimitas pelaku, serta jejak digital yang mudah dihapus atau disamarkan menjadi tantangan utama bagi penegak hukum. Dibutuhkan kerja sama antar lembaga dan keahlian forensik digital untuk mengungkap kejahatan ini.
Kesimpulan
Pelaku penipuan modus pinjol fiktif tidak hanya melanggar etika, tetapi juga dapat dijerat dengan berbagai pasal pidana dari KUHP, UU ITE, hingga UU PDP. Kesadaran masyarakat akan modus penipuan, literasi digital yang baik, serta penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk memutus mata rantai kejahatan digital ini.