Dampak UU ITE terhadap Kebebasan Pers

UU ITE: Pedang Bermata Dua bagi Kebebasan Pers

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hadir sebagai payung hukum di era digital untuk menciptakan ketertiban. Namun, di balik tujuannya, sejumlah pasal di dalamnya justru menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers, pilar penting demokrasi.

Problematikanya terletak pada pasal-pasal ‘karet’ seperti pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3) atau penyebaran berita bohong. Pasal-pasal ini seringkali ditafsirkan secara luas dan digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis atau media yang menyajikan laporan kritis atau investigatif. Padahal, karya jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang Pers, yang seharusnya menjadi lex specialis.

Dampak langsungnya adalah munculnya "chilling effect" atau efek gentar. Jurnalis cenderung melakukan swasensor, enggan mengangkat isu-isu sensitif atau melakukan investigasi mendalam karena takut jerat hukum. Ancaman pidana dan denda yang besar membuat mereka berpikir dua kali sebelum menerbitkan berita yang berpotensi menyeret mereka ke meja hijau.

Hal ini secara langsung menghambat fungsi pers sebagai pengawas kekuasaan dan penyedia informasi krusial bagi publik. Ketika jurnalis terpaksa membungkam diri, hak publik untuk mengetahui kebenaran dan mendapatkan informasi yang beragam menjadi terampas.

Singkatnya, meski UU ITE penting untuk menjaga ruang digital, implementasinya yang kerap tumpang tindih dengan UU Pers berpotensi memberangus kritik dan menghambat hak publik untuk tahu. Oleh karena itu, revisi atau setidaknya penafsiran ulang yang lebih ketat terhadap pasal-pasal kontroversial UU ITE mutlak diperlukan demi menjaga denyut kebebasan pers di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *